Kamis, 02 Juli 2015

As I Watch You Grow - Kay Theese Poem

My old friends (we were study at the same Elementary School) posted this poem in her Instagram to celebrate 17th yo of her beloved daughter, her only child. 

I like this beautiful poem very much, because this is a heartfelt poem.
Thanks to Kay Theese that wrote this poem in a beautiful way. 
I had tears in my eyes as I read it, because word for word is represent my heart.  
I hope one day my daughters will read this poem from my blog and know that they will always be in my heart and how proud me and their father of them.   

I search the complete poem with story behind, then I found this good source :
http: //www.familyfriendpoems.com/poem/as-i-watch-you-groe

Kay Theese wrote and dedicated this poem to her precious daughter - Tammy in 1990.
This poem is about a mother writes to her daughter letting her know how much she loves her.


As I Watch You Grow
----------

Do you know how much you mean to me?
As you grow into what you will be.
You came from within, from just beneath my heart.
It's there you'll always be, though your own life will now start.

You're growing so fast it sends me a whirl,
With misty eyes I ask, Where's my little girl?
I know sometimes to you I seem harsh and so unfair,
But one day you will see, I taught you well because I care.

The next few years will so quickly fly,
With laughter and joy, mixed with a few tears to cry.
As you begin your growth to womanhood, this fact you must know,
You'll always be my source of pride, no matter where you go.

You must stand up tall and proud, within you feel no fear,
For all you dreams and goals sit before you very near.
With God's love in your heart and the world by its tail,
You'll always be my winner, and victory will prevail.

For you this poem was written, with help from above,
To tell you in a rhythm of your Mother's heartfelt love!

Rabu, 30 April 2014

Belajar Tentang Sahabat

Kutulis  Desember 2013 di dalam note HP ku

Suatu malam di bulan September 2013, aku lupa persis tanggalnya, setelah berdoa malam menjelang tidur, Caca belum dapat lagsung tidur.  Entah apa yang ada di pikirannya ketika itu, tiba-tiba ia bertanya,
"Ma, apa sih bedanya teman dan sahabat ?"

Dengan ringan aku menjawab,
" Kita bisa dan harus punya banyak teman, tetapi sahabat hanya beberapa.  Sahabat itu adalah teman kita yang kita bisa menampilkan wajah terjelek kita tanpa harus jaim (*jaga image), teman yang kalau kita sedih pasti ada dekat dengan kita, teman yang senang kalau kita menang, bahkan kalau pun menang daripadanya.  Sahabat itu sangat dekat di hati, bahkan meskipun kita sudah berjauhan."

"Seperti kakak Thya dengan kak Ida dan kak Osza ya, Ma ? tanya Caca
"Iya. Kurang lebih begitu.  Mereka sudah berteman dari sejak TK dan SD. Meskipun mereka tidak satu sekolah di SMP dan SMA, tetapi mereka tetap akrab," kataku menjelaskan
"Iya, Kakak kalau lagi bete biasanya bbm-an atau chatting dengan kak Osza dan kak Ida, Ma."
"Kakak Thya mungkin sekarang pun punya teman-teman dekat di SMP dan SMAnya, barangkali ada yang jadi sahabatnya juga. Tapi kak Osza dan kak Ida tetap dekat di hati kakak Thya.  Sampai sekarang mereka suka menyempatkan untuk ketemuan dan jalan bareng," kataku menambahkan lagi.

"Sahabatku siapa ya, Ma ?" tanyanya.
"Mungkin kita bicara dulu adalah teman yang paling dekat.  Biasanya kita baru tahu siapa yang menjadi sahabat kita setelah cukup lama berteman. Saat ini tidak mengapa belum ada teman yang bisa kita sebut sahabat, tapi dengan memiliki banyak teman baik maka lama-lama kita akan tahu siapa yang benar-benar sahabat kita." Demikian kataku lumayan panjang lebar.

"Siapa teman Caca yang paling dekat saat ini ?" tanyaku
"Arta, Indira dan Putri, " katanya. "Mereka teman-teman dekatku.  Aku sering main dengan mereka."

"Kira-kira apa yang membuat Caca lebih suka berteman dengan mereka dibanding dengan orang lain ? Coba pikirkan apa yang mereka lakukan sehingga Caca betah bermain dan berteman dengan mereka, apa yang baik yang mereka lakukan untukmu." Aku mencoba menggali perasaannya

"Indira dan Arta suka membantuku Matematika, Putri suka marahin aku kalau aku kebanyakan ngobrol," katanya

Aku tersenyum.  Kriterianya cukup baik.  Caca tidak hanya berpikir tentang hal yang menyenangkan buatnya, tetapi yang benar-benar baik buatnya.

"Ya, mungkin itu bisa kita jadikan kriteria untuk menjadi sahabat.  Sebagai gantinya Caca pun harus bisa menjadi sahabat yang baik buat mereka.  Jangan sampai Caca berpikir bahwa mereka adalah sahabatmu, tetapi mereka tidak berpikir bahwa Caca adalah sahabat mereka."

"O, begitu ya Ma ?" ia terkejut
"Iya, kalau begitu kan namanya nggak imbang.  Jadi jangan yang enak buat kita aja, tetapi kita pun harus membuat sahabat kita menjadi lebih baik, merasa terbantu karena ada kita. Caca harus bisa juga mendorong untuk sama-sama belajar lebih giat. Sahabat juga senang kalau sahabatnya berhasil dan sedih waktu sahabatnya merasa sedih."

"Sekarang sudah malam, kita mesti tidur. Pembicaraan tentang sahabat selesai dulu malam ini ya."
Kami pun tidur.

------------------------

Beberapa minggu kemudian, ketika pulang dari kantor aku melihat Caca keluar dari kamarnya dengan kaki pincang.
"Kenapa kakinya, Ca ?" tanyaku.
"Tadi aku jatuh di sekolah, Ma," jawabnya. 
"Tapi Mama jangan kuatir.  Tadi kakiku sudah diobati Arta. Dia kan dokter cilik.  Hebat banget dia, Ma.  Aku bilang dia jadi dokter aja, dan Arta bilang dia memang mau jadi dokter.  Aku doakan Arta supaya jadi dokter ya Ma.  Kan nanti aku bisa berobat gratis ke Arta, " katanya 'berceloteh dengan gayanya yang lucu.

Aku tersenyum dalam hati.  Aku senang anakku tidak iri dengan kehebatan temannya, dan malah bangga memiliki teman yang mempunyai kelebihan daripadanya.  Dan juga bangga karena ia mendoakan temannya untuk dapat mencapai cita-citanya.  

Semoga gadis kecilku ini (dan semua gadisku) tumbuh menjadi anak yang baik hati, jauh dari rasa iri hati apalagi dengki.  Semoga  ia dapat mempunyai teman dan sahabat yang bisa menjadi tempatnya saling berbagi kesedihan, kegembiraan, kegagalan, kesuksesan dan saling mendorong untuk selalu menjadi lebih baik. 

---------------------

Beberapa minggu berlalu, seperti biasanya dalam bincang-bincang malam sebelum tidur, ia bercerita tentang teman-temannya, diantaranya tentang Arta.

"Ma, Arta sebentar lagi dilantik jadi Dokter Cilik, lho," celotehnya gembira.
"O ya ? Hebat dong," kataku
"Iya, Ma.  Paling tidak cita-citanya sudah agak-agak tercapai sedikit lah ya. Sebelum dia jadi dokter beneran, sekarang dia jadi Dokcil dulu.  Tapi karena dia mesti ada latihan-latihan, Arta agak berapa kali nggak ikutan belajar di kelas.  Jadinya kami bantuin Arta menulis buku catatannya."  Hahahaha Caca berceloteh lancar

"Bagus dong.  Kalian memang harus saling membantu kalau ada teman yang kesulitan. Dengan membantu Arta itu tindakan yang baik."  kataku dengan bangga.

Kami masih melanjutkan cerita-cerita lagi sebelum berdoa dan kemudian tidur, tetapi sudah tidak lagi tentang teman-temannya. 















Jumat, 27 Juli 2012

Masterpiece

Syair lagu "Masterpiece" yang dinyanyikan oleh Sandy Patty adalah lagu yang sangat aku sukai, karena mewakili gambaran perasaan hatiku, betapa aku sangat kagum akan karya Tuhan dan bersyukur akan anugerahNYA padaku, yaitu ketiga anak-anakku.

Lagu ini diperkenalkan oleh seorang teman sekantorku, Lanny DJ, sekitar tahun 2000an (aku lupa tepatnya).  Ketika ia menyanyikan lagu ini, ia juga memberikan syairnya sehingga kami yang mendengar bisa membaca dan mencoba belajar menyanyikannya.  Meski aku saat itu aku belum bisa menyanyikannya, tetapi syair lagu ini menyentuh hatiku.  Sejak saat itu hingga hari ini, aku selalu menyimpan syair lagu ini. Sekitar 2 tahun lalu, aku baru mendapatkan kasetnya, sehingga aku juga bisa mendengarkan lagunya, sambil meresapi artinya dan menyanyikannya. 




Before you had a name, or open up your eyes,
or anyone could recognize your face,
you are being formed, so delicate in size,
secluded in God’s safe and hidden place

 


With your little tiny hands and little tiny feet
and little eyes that shimmer like a pearl,
He breathe in you a song, and to make it all complete
He brought the masterpiece into the world
 
 
 
 
You are a masterpiece,
a new creation He has formed
and you’re as soft and fresh as a snowy winter morn,
And I’m so glad that God has given you to me,
Little lamb of God, you are a masterpiece


And now you’re growing up, your life’s a miracle
Every time I look at you, I stand awe,
because I see in you a reflection of me
And you’re always be my little lamb of God

 


And as your life goes on each day,
How I pray that you will see
Just how much your life has meant to me,
And I’m so proud of you, what else is there to say
Just be the masterpiece He created you to be











Jumat, 18 Mei 2012

Pelajaran Bertoleransi dari Anakku

Kutulis 29 Juli 2011

Malam ini, seperti biasanya sebelum tidur aku dan Marchya berdoa bersama. Kakak-kakak masih belum mau tidur, masih ada tontonan yang menarik. Marchya yang pimpin doa.

Seperti biasanya, doa Marchya didahului dengan mengucap terimakasih untuk penyertaan Tuhan sepanjang hari. Kemudian ia memohon penyertaan Tuhan terhadapnya, kakak-kakak, mama dan papa, juga untuk keluarga kami di mana pun mereka berada. Di luar dugaanku, dalam doanya Marchya juga memohon Tuhan supaya menyertai Mbak Agil dan Mbak Atun yang akan berpuasa, supaya mereka bisa puasa sampai selesai.

Deg.....aku tersentak mendengar doanya. Kubiarkan ia menyelesaikan doanya, kucium pipinya dan kutemani ia tidur.

Sementara menemani anakku tidur, aku berpikir tentang apa yang barusan terjadi. Aku merasa senang dan bangga karena Marchya tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Selama ini, aku memang mengajarkan kepada anak-anakku untuk memberi perhatian kepada orang lain, dimulai dari saudara, teman, mama, papa, opung, mbak dan orang-orang terdekat lainnya. Aku juga mengajarkan kepada mereka bertoleransi dengan mbaknya yang beragama lain dengan kami. Terkadang ketika sudah waktunya sholat, tetapi Marchya masih ingin bermain dengan mbaknya, aku berkata "Mbak jangan diganggu, mau sholat dulu. Sama mama dulu aja." Atau saat puasa, kami sama-sama seru membahas mau buka puasa dengan apa. Kami memang terkadang juga mendoakan Mbak dan Om supir, kiranya Tuhan menyertai dan memberkati mereka. Tapi aku belum pernah mengajarkannya apalagi mencontohkan kepadanya untuk mendoakan supaya Mbak bisa menjalankan ibadahnya dengan baik.

Hari ini aku tertegur.

Aku tidak pernah mendoakan seperti yang anakku lakukan hari ini. Tidak pernah !

Anakku mengajarkan aku toleransi beragama dalam bentuk tindakan nyata.

Senin, 12 September 2011

Takut Gagal (2)

11 September 2011

Hari ini Sam akan menghadapi ujian piano grade 5. Persiapan sudah lumayan baik, meski sebenarnya latihan baru dikebut dalam kurang lebih 1 bulan ini. Beberapa kali latihan di tempat les, kak Yo guru lesnya Sam bilang sudah cukup baik di 2 lagu, tetapi 2 lagu lagi mesti dilatih lagi.

Pagi ini, sepulang gereja, segera kami bersiap untuk berangkat. Sebelumnya, saat makan siang, kakak Thya yang memimpin doa makan, menyelipkan doa untuk kelancaran ujian piano Sam. Sengaja kami berangkat lebih awal supaya tidak terburu-buru dan masih ada waktu untuk Sam latihan lagi.

Untuk mengurangi grogi dan juga melatih lagu-lagu yang belum terlalu lancar, Sam berlatih di ruang kelas yang kosong. Tampaknya dia cukup puas dengan latihannya, meski masih ada rasa grogi.

Akhirnya Sam dipanggil masuk ke ruang ujian. Aku dan papanya menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Kurang lebih 15 menit kemudian, dia keluar dengan mata berair sambil berkata, "Kacau.. kacau." Aku dan papanya tidak bisa bilang apa-apa, kecuali memeluknya sambil membawanya keluar menuju ruang parkir.

Aku mencoba bertanya, tapi tampaknya Sam belum siiap untuk menjawab. Malah tangisnya menjadi sesunggukan. Suamiku memberi tanda untuk membiarkan dulu ia menangis. Kami tidak langsung pulang, kami mampir dulu di Starbuck Citos, sekedar nongkrong dan ngobrol-ngobrol.

Sambil menikmati minuman, waffle caramel dan kue keju, kami mulai membagi banyak kutipan-kutipan kata-kata tentang kegagan. Karena Sam suka mengumpulkan kutipan-kutipan kata-kata bijak, maka ia mencatat yang diberikan papanya dan aku.

Suasana mulai mencair, tampaknya ia mulai bisa untuk diajak bicara. Suamiku memulainya dengan memintanya mengulang kejadiannya sejak saat ia memasuki ruang ujian. Sam mulai bercerita, matanya mulai berkaca-kaca lagi. Kami berdua mendengar dengan baik. Sesekali kami bertanya untuk mempertegas alur ceritanya. Ia menagis lagi.

Selesai bercerita, kami mulai membicarakan isi kutipan-kutipan tadi, juga hal-hal tentang kegagalan dan tekad untuk terus mencoba

Suamiku dan aku menyampaikan dengan bahasa masing-masing bahwa setiap orang dalam hidupnya akan menemukan kegagalan. Tetapi kalau tenggelam terlalu dalam pada perasan kecewa karena gagal, maka akan takut mencoba atau bahkan mengulang.
Menangis karena sedih itu wajar, itu merupakan rasa tanggung jawab juga. Merasa bersalah karena tidak bisa memberi hasil yang baik. Tapi mesti diimbangi dengan belajar dari kesalahan itu untuk kemudian suatu saat bisa berhasil dengan memuaskan.

Suamiku berkata kepadanya, "Sebenarnya menurut papa, lebih baik kak Sam tidak lulus, tetapi mempunyai kesempatan untuk mengulangi lagi untuk memantapkan keahlianmu, daripada saat ini kamu lulus tapi tidak terlalu menguasai. Dan lebih lagi, bila kak Sam sekedar puas dengan lulus dan tidak memantapkan kemampuanmu. Setelah ini kita coba lagi di rumah untuk mengulang berlatih, belajar dari kesalahan-kesalahan yang tadi disebutkan oleh penguji."

Sam mengangguk. Kemudian ia berkata, " Kalau waktu ujian JXC di Gatot Subroto (beberapa tahun lalu) itu, aku bisa menerima bahwa hasilnya pas-pasan, hampir gagal. Itu karena aku tidak terlalu serius berlatih. Tapi ujian kali ini aku sudah berlatih lebih baik. Jadi kalau tidak lulus sedih banget rasanya." Begitu katanya sambil mulai terisak lagi.

"Kamu tahu kan salahmu di mana ?" tanya papanya.

"Iya, tadi disebutkan, jadi aku tau, " kata Sam.

"Itu artinya bahwa persiapanmu masih kurang," papanya berkata lagi.

Aku menambahkan, "Cobalah mulai dari saat ini ke depan untuk mempersiapkan diri tidak hanya pas dekat-dekat waktu ujian, tapi rutin tiap hari. Apakah itu 15 menit, 30 menit atau 1 jam. Beri waktu rutin setiap hari untuk berlatih."

"Iya sih," suaranya merendah, sepertinya ia menyadari kesalahannya.

Kupegang tangannya, sambil kuusap-usap kepalanya yang disandarkannya di meja Starbuck (meja kami ada di dekat tiang, sehingga agak teralihkan dari perhatian orang). Aku mengajak ia berbicara dari hati ke hati. Inilah sebagian dari apa yang kusampaikan kepadanya.
"Mama tidak ingin kamu gagal. Tapi kegagalan-kegagalan yang kamu dapat saat ini dapat kita anggap sebagai persiapan kamu untuk menghadapi kegagalan yang lebih besar dalam perjalanan hidupmu nanti. Saat ini mama dan papa ada di sampingmu, menemanimu melewati kegagalanmu. Tapi nanti, ketika kamu sudah berpisah dari mama, entah kuliah di luar kota atau luar negeri, sudah bekerja dan lainnya, mama harap kamu sudah lebih kuat menghadapinya sendiri tanpa mama dan papa. Tentu saja kamu bisa cerita meski jauh. Tapi tidak sama dengan yang sekarang kamu hadapi. Tapi jangan pernah kuatir, karena Tuhan pasti menyertaimu."

Ia tidak lagi menangis terisak, tapi air matanya mengalir mendengar ucapanku.

Sore itu, setelah puas berbicara dari hati ke hati, kami pun melanjutkan aktifitas lain yang tidak lagi berhubungan dengan masalah ujian dan kekecewaan hatinya. Aku berharap ia dapat mengobati hatinya dan mau memperbaiki diri di masa-masa datang.

Anakku sayang, Sam.
Hidup ini tidak sekedar kalah atau menang, sukses atau gagal.
Yang lebih penting dalam setiap perjalanan hidupmu, adakah hikmah yang kamu bisa petik dari setiap usahamu ?
Ketika usahamu membuahkan hasil, jangan memegahkan diri dan berkata itu semua hasil jerih payahmu saja. Karena banyak andil orang lain di balik keberhasilanmu, bisa temanmu, gurumu, saudaramu atau orang lain. Lebih dari itu yang utama adalah karena Tuhan berkenan memberi keberhasilan itu untukmu.
Ketika usahamu yang sudah berjerih lelah masih belum membuahkan hasil yang engkau harapkan, jangan berputus asa.
Terus berusaha, mencoba, memperbaiki diri, lebih giat dan lebih tekun.
Tuhan pasti tidak tinggal diam membiarkanmu patah semangat setelah usaha yang berkali-kali.

Anakku sayang, kiranya setiap kegagalanmu, menambahkan kedewasaan dalam diri dan kematangan bagi jiwamu
Tuhan memberkatimu.

Rabu, 27 April 2011

Takut Gagal

Tadi malam waktu aku pulang kantor Thya menghampiriku. Dia bilang dia takut gagal UAN Matematikanya. Sambil menangis, dia cerita bahwa sebenarnya bisa jawab dengan yakin sebagian besar soalnya. Tapi caranya salah. Dia cari dulu jawaban semua nomor, baru menghitamkan bulatan di lembar jawaban. Akibatnya 19 nomor terakhir tidak sempat dihitamkan, padahal waktu sudah habis. Untung guru pengawasnya baik mau menunggu Thya menyelesaikan, tapi dia sudah stress sekali. Katanya, tangannya sampai gemetar waktu menghitamkan bulatan itu, jadi dia tidak tahu apakah bulatannya benar atau tidak. Mungkin melewati garis, katanya.
Hari sebelumnya, waktu ujian bahasa Indonesia, masih banyak waktu tersisa, jadi dia sempat mengerjakan semuanya. Dia pikir bisa mengerjakan jawaban dgn cara seperti itu pada ujian Matematika.

Kasihan dia, tadi malam susah untuk tidur karena menangis. Aku coba menenangkannya. Sambil tiduran dan memeluknya, aku mengatakan banyak hal padanya, mencoba menanamkan nilai-nilai kehidupan. Aku mengatakan apa yang terjadi sudahlah, tidak perlu disesali. Aku tidak akan marah padanya kalau pun nanti nilai Matematikanya jelek, karena aku tahu usahanya mempersiapkan diri untuk menghadapi UAN SMP kali ini cukup baik, tidak seperti waktu ia menghadapi UAN SD yang menurutku kurang sungguh-sungguh.

Yang paling penting sekarang adalah belajar menerima apa pun hasilnya nanti. Juga untuk besok, karena masih ada mata pelajaran lain yang mesti dihadapi, harus belajar dari kesalahan hari ini dan memperbaiki diri.

Orang yang berhasil bukan orang yang tidak pernah gagal, tapi orang yang selalu belajar dari kegagalannya dan bangkit untuk memperbaiki diri. Selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dan selalu mencoba untuk lebih baik.

Namun demikiani, jangan putus asa ketika terkadang kita merasa sudah melakukan yang terbaik, namun bisa saja ada hal-hal yang terjadi yang membuat kita memperoleh hasil tidak seperti yang kita harapkan. Itu menyakitkan dan mengecewakan, seperti yang sekarang Thya alami. Tapi jangan kalah dengan keadaan, jangan patah semangat sehingga tidak bisa untuk memperbaiki diri.

Demikian beberapa nasihatku padanya diantara percakapan kami. Lama kami berbicara dari hati ke hati. Entah berapa persen nasihatku yang meresap di hatinya, tapi semoga dapat memulihkan hatinya yang kecewa dan memompa semangatnya. Dan semoga meski sekarang ia belum memahami apa yang aku sampaikan itu 100%, tetapi suatu waktu kelak dia paham. Aku berdoa kiranya Tuhan selalu menjaganya.

Setelah berbicara banyak, aku mengajaknya berdoa. Aku memeluknya yang masih terisak sambil mencoba tidur. Lama kutunggu, akhirnya dia tertidur. Kucium keningnya yang sudah pulas.

Kumohon Tuhan menjaganya, terutama jiwanya.

Pagi ini, UAN SMP hari ketiga, mata pelajaran yang diuji Bahasa Inggris. Sudah tidak kulihat lagi kesedihan di matanya. Seperti biasanya, kuantar dia sampai ke pintu gerbang sekolah. Mudah-mudahan hari ini dia tidak terbawa kesedihan kemarin, jadi bisa menjawab dengan tenang.

Tuhan berkati anakku, supaya belajar banyak dari kehidupan. Belajar mengatasi rintangan, kegagalan, kesedihan dan banyak tantangan lainnya dengan mengandalkan Engkau dan semakin mengenal bahwa Engkau adalah tempatnya mengandalkan hidupnya.
Belajar menghadapi keberhasilan, kesuksesan, dan pencapaian-pencapaian lainnya dengan tetap rendah hati, tidak sombong, mensyukurinya sebagai karunia dariMU dan semakin percaya ybahwa Engkaulah sumber segala sesuatu dalam hidupnya.
Ajar anak-anakku untuk semakin mengenal dan mengandalkan hidupnya padaMU, Tuhan.
Amin.

Puisiku, 26 April 2011
Dalam tangis kau datang padaku,
membawa semua gundahmu hari ini
Sesalmu atas gagalmu dan kesalmu atas teledormu.
Duh, kecewamu sungguh nyata di matamu.

Sesaat aku terbawa arus kecewamu
Gundah melanda hatiku pula
Gusar dan gelisahmu serta merta menulariku,
sejenak aku tak mampu berkata-kata

Anakku,
Gagalmu hari ini adalah gurumu
Namun jangan lemah terhanyut arus sesalmu
Kecewamu saat ini adalah ujianmu
Yang hanya dapat kau pahami ketika sudah mengalaminya

Anakku sayang,
Hidup tidak hanya semata tentang manang atau kalah, gagal atau sukses
Meskipun mungkin akan selalu hadir menjadi warna - warni dinamika hidupmu.
Menang atau sukses bukanlah tujuan hidup
Yang paling penting pelajaran-pelajaran yang kau petik
dalam usaha, karya dan upaya di sepanjang perjalanan hidupmu

Anakku sayang,
Hidup tidak selalu putih dan tidak hanya hitam
Sering pula muncul dalam bias aneka warna dan warni
Ada abu-abu di antara hitam dan putih, ada jingga di antara cyan dan biru
Ada hijau di antara kuning  dan biru.

Belajarlah dari hidupmu, sayang
Kuatlah berdiri kokoh dalam Tuhanmu
Aku selalu ada menemani hari-harimu,

JUNI 2011
Puji Tuhan, ternyata UAN Matematika Thya dapat bagus, 9.75 hanya salah 1 nomor dari 40 nomor yang diujikan. Meskipun dikerjakan dengan terburu-buru saat-saat terakhir, ternyata hasilnya sangat-sangat menggembirakan. Terima kasih Tuhan. Terima kasih ibu guru pengawas UAN yang baik hati, yang memberi kesempatan Thya untuk menyelesaikan jawabannya. Terima Kasih ibu Christina, KaSek SMP TM.

Rabu, 22 Desember 2010

A Letter to My Daughters

In this mother's day,
I want to thanks God for giving you into my life, O my dearest Angles.
The three of you make my life worth and full of joy.
Thanks for being my nice daughters, I'm very proud of you all.
Who are the most blessed mother in the world ?
It's me.
And it's because I have you.
Love u so much

Kamis, 21 Oktober 2010

Yang Tak Boleh Kudelegasikan

Jakarta 16 Oktober 2010
Gadis sulungku kini sudah 14 tahun, sudah ABG.
Masih segar dalam ingatanku saat ia hadir dengan lengkingan tangisnya seakan menyapaku.
Masih berlumuran darah, dokter Sumanadi meletakkan tubuh mungilnya di tanganku, kemudian memotong tali pusarnya. Dokter Sumanadi seolah memberi kesempatakn untukku untuk memeluk dan menciumnya sesaat setelah anakku keluar dari rahimku.
Masih kuingat perasaanku yang campur aduk.
Takjub, melihat seorang bayi yang berada di perutku selama sembulan bulan akhirnya kulihat keluar dari tubuhku.
Haru, karena bayi itu adalah darah dagingku.
Aneh, saat menyentuh tubuh licinnya, kenyal-kenyal seperti balon diisi air.
Lelah, karena sudah lebih dari 2 hari aku tidak bisa tidur merasakan kesakitan.

Hmm... empat belas tahun sudah aku menjadi seorang ibu. Kini aku memiliki tiga gadis-gadis manis anugerah dari Tuhan.

Sudahkah aku menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku ?
Apa yang sudah kulakukan untuk pertumbuhan mereka ?

Banyak hal yang masih belum kulakukan. Banyak yang belum mampu kuberikan kepada mereka di dalam hari-hari mereka, terutama karena waktu yang dapat kuberikan untuk mereka sangat sedikit. Tak jarang rasa bersalah muncul, ketika di dalam dilemmaku, akhirnya aku memutuskan meninggalkan mereka demi sebuah rapat yang penting. Tidak jarang pula, saat mereka sakit, aku hanya sempat mengantarkan ke dokter, dan harus segera meninggalkannya setelah semua obat-obatan kuperoleh dan kusuapkan. Kemudian dengan tergesa aku meninggalkan dalam tidurnya.

Namun demikian, di sela-sela waktuku yang tidak banyak, aku berusaha berjanji di dalam hatiku untuk sedapat mungkin mengisi pertemuan kami dengan kualitas hubungan yang baik. Terkadang janji hatiku kutepati, terkadang tidak. Terkadang pula, definisi kualitas yang baik menurut kacamataku berbeda dengan apa yang mereka inginkan. Terlebih ketika mereka masih belum terlalu mengerti, mengapa mama harus pergi ke kantor, sementara mama teman-temannya banyak yang selalu ada mengantarkan ke sekolah.

Meski seringkali jumlah waktu yang mereka harapkan tidak selalu dapat kupenuhi. Dengan berjalannya waktu, mereka bertambah besar dan semakin mengerti. Dan puji syukur kepada Tuhan karena mereka bertumbuh menjadi anak baik yang membanggakanku. Semua itu hanya karena karunia Tuhan, "Only because of God grace, Soli Deo Gracia.

Aku tidak ingin puas diri. Dengan karunia Tuhan yang luar biasa itu, bukan berarti aku sekedar menikmati hasil "perbuatan" Tuhan semata. Dalam waktuku yang terbatas itu, aku mencoba memilah dan memilih, mana pekerjaan yang dapat kudelegasikan pada asisten rumah tanggaku dan mana yang tidak boleh.

Mencuci, memasak, dan menyetrika , dan beberapa pekerjaan lainnya adalah beberapa tugas domestik yang bisa didelegasikan seorang ibu kepada orang lain (asisten, keluarga, dsb). Dengan pendelegasian, semua pekerjaan rumah tangga dapat terselesaikan tanpa kehadiranku. Aku hanya mengontrol, baik ketika di rumah maupun saat di kantor melalui ponsel (terimakasih pada kemajuan teknologi).

Tetapi, tugas penting yang tidak bisa dan tidak boleh didelegasikan adalah menyentuh hati anak-anakku, memeluk, mendengar keluhan, berbicara ttg masa depannya, mengusap dan mencium keningnya, dan segala sesuatu yang menyangkut hatinya dan hatiku. Meski semua pekerjaan tersebut bisa juga dilakukan oleh orang lain, tapi maknanya pastilah berbeda, ketika aku memeluk mereka dan pelukan orang lain selain aku.

Aku sudah melakukan semua itu dengan cinta, masih akan terus melakukannya dan akan selalu menyentuh hati anakku dengan cinta, tanpa perwakilan dan tidak didelegasikan.

Dan bagi kami (aku dan anak-anakku), waktu untuk berpelukan adalah waktu yang menyenangkan dan seru. Mereka bertiga akan berlomba untuk memeluk dan menciumku. Biasanya, Marchya si bungsu yang selalu kalah cepat, karena kedua kakaknya langsung akan berlari memeluk dari sebelah kiri dan kananku. Kalau sudah begini, aku akan berteriak pada Marchya yang sudah 'ngambek' :"Peluk mama dari tengah, Ca !"
Atau ketika rebutan pelukan itu berlangsung di tempat tidur, maka aku akan berteriak, "Di perut mama, Ca !" Maka Marchya segera melompat ke perutku, dan tidur di dadaku. Karena itu Marchya kujuluki "anak perut".

Sungguh menyenangkan, buatku dan buat mereka. Dan aku tidak akan pernah rela untuk mendelegasikan tugas ini...

Senin, 23 Agustus 2010

Mampukah Aku Melaluinya?

Kamis, 3 Juni 2010.
Ibarat petir di siang bolong, aku terperangah mendengar semua kata-kata yang terucap dari mulut dr Idama, dokter penanggung jawab medical check up (MCU). Setelah pengungkapan fakta-fakta tentang dugaan penyakitku, si ibu dokter yang manis itu menutupnya dengan kata-kata yang menghibur, "Ibu, jangan terlalu dipikirkan ya, belum pasti kok. Masih dugaan saja, tetapi perlu ditindaklanjuti segera."
Berita itu sudah kudengar, sudah masuk ke telingaku, dan tertanam di otakku. Karena itu, kata-kata penghiburan semanis apa pun sudah tak mampu menutupi kegalauan hatiku.

Dr Idama kemudian merujuk aku untuk konsultasi kepada dokter kandungan. Di ruang praktek dr. Ivan, dokter spesialis penyakit ginekologi, kembali aku mendengar fakta yang sama. Dokter Ivan membaca hasil medical check up milikku, dan hasilnya masih sama dengan apa yang disampaikan oleh dokter Idama sebelumnya.

Sepertinya dokter Ivan membaca kegelisahanku. Ia minta aku bertanya apa saja yang ingin aku ketahui. Kemudian ia mengungkapan penyakitku lebih gamblang, lebih detail. Ia menyampaikannya seolah aku ini adalah mahasiswa kedokteran. Meski banyak istilah yang aku tak terlalu paham, tetapi dari bahasa tubuhnya yang mencoba menghibur dan dari penyampaian detail yang ia sampaikan, aku mulai bisa mencoba untuk tenang. Masih level 2, masih pra cancer, belum mencapai level 4 yaitu cancer. Kalau pun nantinya sudah cancer masih ada beberapa stadium-stadium, apalagi ini masih pra cancer.
"Hah, masih ada harapan sembuh," kata hatiku mencoba menenangkan hatiku.

Meski aku mencoba untuk tenang, rasa gentar itu tetap ada. Untung ada Ci Arrini, atasanku yang baik hati, yang menemaniku menghadapi saat sulit itu. Karena itu, dengan tenang aku bisa menjawab bahwa aku siap untuk operasi polip rahim dan biopsi minggu depan.

Meski mulut dan wajahku bisa tampak tenang sesungguhnya ada banyak gejolak di hatiku. Apakah sebentar lagi hidupku akan berakhir ? Aku tak takut mati, karena semua orang pun akan mati. Yang aku kuatirkan adalah bagaimana kehidupan anak2ku tanpa aku nantinya ? Apakah ini cara Tuhan supaya anak2ku lebih mandiri, dengan tidak adanya aku menopang mereka ? Aku tak berani banyak berasumsi.

Oh Tuhan, seperti Hizkia boleh meminta panjangkan umurnya, bolehkah aku juga meminta panjangkan umurku ?
Oh Tuhan, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk berjuang agar dapat sembuh, agar dapat mendamping anak dan suamiku.
Oh Tuhan, mampukah aku menjalaninya ? Kiranya ENGKAU saja yang memampukanku.
Please God...

November 2010
Setelah menjalani operasi dan biopsi pada 11 Juni 2010, maka pada 17 Juni 2010 ketika harus kembali lagi ke dokter untuk membacah hasil biopsi dan periksa USG lagi. Dengan rasa deg-degan, aku ke RS Siloam Kebon Jeruk menemui dokter Ivan sesuai perjanjian setelah selesai operasi. Puji Tuhan dokter Ivan segera menyampaikan berita gembira bahwa dari hasil biopsi menunjukkan tidak ada tanda-tanda keganasan. Hatiku luar biasa senang dan mengucap syukur. Meskipun dokter masih tetap menyarankan melakukan pap smear dengan metoda yang lebih canggih 3 bulan lagi, tetapi hatiku sangat bersukacita.

Dan pada November 2010 ini, hasil pap smear ku menunjukkan bahwa aku tidak menderita penyakit yang mematikan itu. Puji Tuhan, sunggu besar kasih karuniaNYA padaku

Jumat, 04 Juni 2010

Di Doa Ibuku Ada Namaku Disebut

Aku dan tiga anak gadisku suka menyanyikan lagu-lagu rohani sebelum tidur. Diantara lagu-lagu rohani yang biasa kami nyanyikan, Marchya si bungsu sangat suka sekali dengan lagu “Di Doa Ibu Namaku Disebut” yang dinyanyikan oleh Nikita waktu masih kecil. Dengan Ipod di telinganya, ia bisa menyanyikan dengan nadanya sendiri, yang hmm… naik turun sesukanya.

Pada suatu malam, saat aku memandang wajah anak-anakku yang tertidur pulas setelah menyanyikan beberapa lagu rohani, dan salah satunya adalah lagu “Di Doa Ibu Namaku Disebut”, membawaku dalam perenungan panjang. Teringat masa kecilku, teringat pada Ibuku yang rajin berdoa. Aku juga berpikir tentang masa depan anak-anakku dengan segala kesulitan dan tantangan yang akan aku dan anakku hadapi. Sejak malam itu, setiap kata dan kalimat dalam setiap bait bisa membuatku menangis. Inilah perenunganku

Bait pertama mengingatkanku akan masa kecilku. Sering sekali aku melihat mamaku duduk di tepi tempat tidurnya, berdoa lama sekali. Entah apa saja yang didoakannya, kala itu aku tak terlalu perduli. Tampaknya ia begitu menikmati saat-saat itu, saat ia menyampaikan isi hatinya dengan berdoa kepada Penciptanya.

Dulu, ketika masih kecil, kami (abangku, aku dan adik-adikku), tak terlalu ambil pusing berapa lama pun mamaku berdoa, kami biarkan saja. Tetapi, kami baru bereaksi ketika kami berdoa bersama-sama dengan mama.
Doa bersama biasanya kami lakukan ketika makan, atau pada waktu-waktu khusus. Paling sering memimpin doa adalah mama atau bapak. Karena mama berdoanya panjang, kami sering berusaha agar jangan mama yang memimpin doa.

Di dalam doanya, selalu ada banyak nama dan kondisi yang disebut. Terkadang saat doa makan pun mama tidak bisa singkat berdoa. Bayangkan, di saat perut sudah lapar, di saat makanan begitu menggoda, mama masih teringat mendoakan selain makanan yang akan kami santap. Apalagi biasanya mama berdoa dalam bahasa Batak, yang tidak terlalu kami mengerti seluruhnya. Maka, bisa dibayangkan betapa membosankannya saat berdoa itu. Terkadang, ketika tidak ada salah satu dari kami yang bersedia ditunjuk untuk berdoa, maka mama dengan sukarela akan mengajak berdoa. Dengan spontan, kami berkata, “Bapak aja !” Bisa saja sebenarnya mama tersinggung, tapi ia hanya tersenyum dan membiarkan Bapak yang ambil alih. Atau kami bilang, “Doanya jangan panjang-panjang lah Mak (mamak, begitu kami memanggilnya).”

Saat aku masih tinggal bersama orangtuaku, seringkali aku melihat mamaku berdoa. Doa yang paling lama adalah doa malam menjelang tidur. Entah apa saja yang didoakannya.

Pernah satu ketika aku mencoba ikut berdoa bersamanya menjelang tidur di malam hari, ingin tahu apa saja sebenarnya yang didoakannya. Sampai terkantuk-kantuk aku mendengar ibu berdoa. Yang aku ingat, ia menyebutkan banyak nama dan banyak permasalahan. Dan nama kami enam bersaudara, satu persatu disebutkannya di dalam doanya. Mestinya biar cepat kan lebih baik kalau disebut sekalian saja, “Aku berdoa untuk anak-anakku…..” Kan itu bisa menghemat waktu dan tidak membosankan, dibanding kalau satu persatu nama disebutkan. Itu pikiran praktisku saat itu..

Setelah aku menikah dan memiliki keluarga sendiri, ia pun masih tetap berdoa menyebut namaku, nama kami satu persatu. Mungkin sekarang makn lama, karena sudah ada menantu-menantu dan cucu-cucunya.

Setelah sudah memiliki anak, aku semakin menyadari bahwa segala sesuatu yang kuperoleh saat ini tidak lepas dari doa mamaku.

Hal ini terutama kusadari ketika aku berhadapan pada kenyataan bahwa banyak sekali tantangan yang kuhadapi sebagai orangtua agar anak-anakku bertumbuh dalam arah yang benar. Aku tidak cukup hanya menyediakan makan, pakaian dan kebutuhan fisik mereka lainnya, tapi mesti juga harus mencukupi batin dan jiwa mereka. Apalagi saat ini, banyak pengaruh luar yang dapat saja menyeret mereka ke arah yang salah. Narkoba yang sekarang sudah diedarkan di TK dan SD, globalisasi informasi yang dapat dengan mudah diperoleh pun jika tidak cermat dapat memberi pengaruh negatif.

Kekuatiran demi kekuatiran memenuhi pikiranku. Apalagi aku bekerja, tidak dapat selalu mendampingi mereka. Akhirnya aku menyerah, dan bilang pada Tuhan, “Tuhan, aku tidak dapat selalu ada di samping anak-anakku, tapi aku percaya Engkau tidak akan meninggalkan mereka. Kuserahkan mereka ke dalam tanganMU, bentuklah mereka seturut kehendakMu.”

Seperti pada bait kedua, aku pun sekarang sering teringat akan saat-saat ibuku berdoa. Persepsiku sudah berbeda. Dulu ketika aku masih kecil, aku sering menghindar berdoa bersama mama, tetapi sekarang aku bersyukur karena selalu ada namaku disebut dalam doa mamaku.

Kasih Mama Tulus Sepanjang Masa

Kutulis pada Jumat, 23 April 2010.
Aku sedang sakit, pas mamaku ada di rumahku, datang dari Medan 2 minggu lalu. Sambil tidur-tiduran berdua, kepala dan badanku dipijat2 mama. Hmm, nikmat sekali.

Anakku lewat, melihat kami, dan katanya, "Mama manja banget ya sama Opung."
Mama tersenyum, aku pun tersenyum tidak menjawab karena asyik menikmati pijatan mamaku. Meski sudah manula & tenaganya tidak sekuat dulu, tapi mamaku senang memanjakan anak cucunya. Misalnya saat ini, ketika aku sakit demam tinggi, aku diperlakukan dengan penuh kasih, seperti ketika aku masih kecil (tetapi bukan diperlakukan seperti anak kecil). Badan dan kepalaku dipijat untuk melegakan kepenatanku. Ketika aku tertidur, kurasakan tangannya membelai rambutku dan menempelkan tangannya di keningku untuk mengetahui panasku.

Meski sudah punya anak, bermanja2 kepada mama tetap menyenangkan & selalu bikin kangen.

Terimakasih Tuhan, atas anugerahmu memberiku mama yang penuh kasih. Terimakasih Ma, kasihmu tulus sepanjang masa.
Kiranya engkau panjang umur dan sehat selalu. Aku masih selalu rindu merasakan hangatnya dan lembutnya kasihmu.

Minggu, 30 Mei 2010

Dilema Marchya

Hari ini, 30 Mei 2010. Seperti biasanya kami berdoa malam sebelum tidur. Karena kakak-kakak tidur di atas, aku dan Marchya berdoa berdua saja malam ini. Marchya yang dapat giliran memimpin doa.

Ia berdoa tentang banyak hal. Berterima kasih atas berkat Tuhan sepanjang hari ini, minta berkat kesehatan dan perlindungan Tuhan. Juga mohon berkat untuk saudara-saudara Marchya di mana pun mereka berada, dan... yang mengharukanku adalah doanya yang terakhir sebelum ia mengakhiri doa malamnya. Marchya berterima kasih karena Tuhan membuatnya tambah besar, dan sebentar lagi ia sudah akan masuk SD. Tapi ia juga takut kehilangan teman-temannya, sahabat-sahabatnya di TK.

Hmmm, aku geli mendengar doanya itu, sekaligus juga terharu. Hampir aku menitikkan air mata.

Selesai berdoa, ia berkata, "Aku hampir nangis tadi, Ma."

"Kenapa, Dek ?" tanyaku.

"Aku senang sih, aku tambah besar. Tapi aku bakalan pisah sama teman-temanku," katanya dengan suara bergetar.

Aku memeluknya untuk menenangkannya. Karena lampu sudah kumatikan, bersiap untu tidur, tidak kulihat air matanya mengalir ketika ia bercerita. Tetapi ketika aku mencium keningnya, kurasakan rambutnya basah. Air mata ternyata sudah mengalir.

"Marchya menangis ?" tanyaku tersentak.

"Mama kok tahu ?" Bukannya menjawab, malah ia balik bertanya.

"Rambutmu basah. Ini matamu juga basah, kan ?" kataku padanya sambil mengusap air mata yang masih mengalir.

"Kenapa ya orangtua Grace harus pindah ke Singapore ? Kan aku bakalan gak sama-sama Grace lagi di SD. Grace kan sahabat terbaikku, Ma." Ia protes, tapi bisanya cuma menangis saja.

"Sayang, mungkin ada teman-temanmu SDnya sama dengan Marchya, tapi ada juga yang berbeda. Salah satunya, Grace sahabatmu. kan pindah ke Singapore, tapi Marchya gak boleh sedih. Marchya akan punya banyak teman lain kok nantinya. Dan kalau mau, Marchya bisa tetap berhubungan dengan Grace." Demikian aku mencoba menghibur hatinya.

"Tapi aku bakalan ketemu teman-teman lain juga kan Ma ? Juga kalau kita mati, nanti kita akan ketemu teman-teman dan orang yang kita sayangi kan Ma ?" Ia bertanya lagi. Pertanyaannya ini sulit kujawab.

"Iya sayang, suatu hari nanti kita bakalan bertemu dengan teman-teman kita yang sudah berpisah dwngan kita." Hanya ini yang bisa kujawab, menanggapi pertanyaannya. Aku belum siap bicara tentang kematian. Aku hanya memeluk dan mengusap-usap pumggungnya sampai tertidur. Tak sanggup aku menjawab pertanyaa serius seperti itu apalagi laninnya, biar Tuhan yang

Sabtu, 29 Mei 2010

Fantastic May : Marchya Dapat 3 Piala di Bulan Mei Ini !

Hari ini, 29 Mei 2010, ada acara Pentas Seni di sekolah. Marchya ikut menari tarian Batak dan bermain pianika. Marchya juga ikut lomba mewarnai dan lomba fotogenic. Entah karena ia sudah puas karena beberapa hari sebelumnya sudah mendapat piala berwarna emas, yang diidam-idamkannya, atau karena tidak berani berharap untuk menang, maka Marchya cukup terkejut ketika diumumkan bahwa pemenang I lomba fotogenic Charitas - Wyeth adalah dirinya : Tamarchya Sitompul.

Juara I Lomba Fotogenic Wyeth


"Waw, Mei 2010 ini penuh dengan kejutan dan kebahagiaan buat Marchya," pikirku saat menyaksikannya naik ke atas pentas sambil tersenyum-senyum dengan bangga. Marchya mendapatkan 3 piala dalam bulan Mei ini. Jadi, sekarang Marchya mempunyai 4 piala. Dan yang menyenangkannya, piala ke empat ini tidak berbentuk piala seperti biasanya, tetapi berbentuk Mascot Wyeth, si singa yang lucu. Ini membuat Marchya makin senang, karena pialanya bermacam-macam.

Aku teringat bagaimana ia mendapatkan piala-pialanya yang lain. Cerita menarik yang memberi pelajaran buatku juga.

Piala pertama

Setelah penantian yang panjang, dan pertanyaan "Kenapa aku selalu kalah?" yang selalu diucapkannya dengan nada sedih saat ia mengikuti pertandingan, maka Juni 2008 lalu Marchya akhirnya dapat merasakan kemenangan. Saat itu Sekolah Minggu Sumber Kasih mengadakan lomba-lomba dalam mengisi kegiatan liburan. Marchya mengikuti lomba fashion show dengan tema profesi. Marchya memakai pakaian pramugari Singapore Airlines berhasil mendapat juara 2. Senang karena mendapatkan piala, meskipun bukan piala yang warnanya spt emas. Tapi rupanya ia masih menyimpan keinginan untuk mendapatkan piala yang berwarna emas itu.


Piala ke-2, dan ke-3.

Piala kedua Marchya adalah piala berwarna emas pertama yang didapatnya. Luar biasa senangnya ia. Sampai berkali-kali ia menelepon 'handphone'-ku.

Piala ketiga Marchya diperoleh hanya berselang beberapa hari (tidak sampai 1 minggu) dari piala kedua. Saat itu, di sekolah ada acara dari Cerebrovot. Salah satu kegiatan yang Marchya ikuti adalah lomba menempel sticker. Marchya dan 4 teman lainnya mendapatkan piala.

Bangga dengan 3 Piala yang diperoleh di bulan Mei'10

Antusias Marchya tampaknya menurun saat ia mendapatkan piala ke-3. Mungkin karena acara yang diikutinya itu tidak terlalu besar. Ataukah karena piala berwarna emas yang diimpikannya sudah didapat ?
Entahlah. Tapi untunglah hari ini ia mendapat piala bentuk lain, sehingga antusiasnya kembali muncul.
Semoga esok hari, antusiasnya tidak tergantung apa yang didapatnya.

Piala Warna Emas yang Pertama

Tanggal 5 Mei 2010 lalu, Marchya menjadi salah satu peserta yg mewakili sekolahnya TK Charitas untuk ikut mewakili TK-TK di Kecamatan Cilandak mengikuti lomba senam Pesta Ria se-Jakarta Selatan. Dan hasilnya : Juara ke-3.
Ketika piala perseorangan dibagikan ke anak-anak yang mengikuti lomba senam itu beberapa hari setelahnya, Marchya luar biasa senangnya. Sesampai di rumah, ia menelepon ke kantorku.

"Mama, tahu nggak aku dapat apa hari ini ?" katanya antusias, setengah berteriak kepadaku.

"Mama nggak tahu, Ca. Kamu dapat apa sayang ?" jawabku ringan saja, karena memang aku tidak tahu apa yang didapatkannya hari itu.

"Mama tahu kan kami juara 3 lomba senam waktu itu ? Sekarang pialanya sudah dibagi ibu guru. Piala yang ada warna emasnya loh, Ma. Mama pulang cepat ya. Mama harus lihat pialaku. Keren loh Ma." Ia "nyerocos" tidak memberi kesempatan aku bicara.

"Ya sayang, mama nanti pulang cepat," kataku dengan mata berkaca-kaca mendengar ia berbicara dengan antusias.

Sampai empat kali Marchya meneleponku untuk mengingatkan supaya aku pulang cepat dan supaya aku segera melihat pialanya yang diperolehnya.
Sempat aku merasa bersalah karena hari itu ternyata aku tidak bisa pulang cepat karena ada masalah penting di kantor yang harus diselesaikan, ditambah lagi jalanan macet. Sanpai di rumah ia sudah tertidur. Tapi besoj paginya ketika aku membangunkannya, aku katakan betapa aku bangga melihat pialanya yang 'keren' sekali itu. Sambil masih terkantuk ia tersenyum manis, senang.

Akhirnya impiannya untuk mendapatkan piala yang berwarna emas sudah kesampaian. Hah, aku lega, seperti ada yang terlepas karena akhirnya kesabarannya selama ini menghasilkan buah yang manis.
Mungkin tidak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan, "Kenapa aku tidak pernah menang?" atau "Kenapa aku selalu kalah?"
Tapi semoga piala pertama ini tidak menyurutkan semangatnya untuk selalu melakukan yang terbaik. Mentang-mentang sudah mendapat piala berwarna emas, mentang-mentang harapannya sudah tercapai, sudah tidak berusaha mendapatkan yang berikutnya lagi. Semoga tidak demikian.

Teruslah berjuang, Anakku. Melakukan yang terbaik untuk mendapatkan yang terbaik. Kalau hari ini gagal, janganlah patah semangat dan menjadi undur, tetapi mau memperbaiki diri untuk dapat mencapai harapanmu. Kalau hari ini sukses, janganlah sombong dan menjadi puas diri, tetapi tetap mau berusaha lebih baik dan lebih baik lagi. Dan jangan lupa, sertakan Tuhan dalam setiap langkahmu.

Kamis, 11 Februari 2010

Menanamkan Keperdulian

Hari ini, Kamis 11 Februari.

Tadi malam Mantha demam.
Paginya, ia tetap berkeras untuk pergi sekolah karena ada penilaian drama. Karena penilaian ini berkelompok, ia takut kalau tidak masuk sekolah maka nilainya tidak ada. Akhirnya kubiarkan ia pergi sekolah, asal ia memperhatikan kondisi kesehatannya. Ia harus pulang setelah penilaian drama selesai. Aku pun menuliskan pesan kepada guru wali kelasnya di buku agendanya, memohon untuk lebih memperhatikan Mantha dan mengijinkan Mantha untuk pulang lebih awal bila kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pelajaran hari ini.

Siang sekitar pukul 11, Mantha menelepon. Katanya ia merasa demam lagi dan sudah minta ijin guru untuk pulang lebih cepat.

Sorenya, dari kantor aku menelepon ke rumah mengecek keadaan Mantha. Adik Marchya yang menerima teleponku. Setelah menanyakan keberadaan kakak Thya dan berbincang-bincang tentang sekolahnya, aku menanyakan keadaan Mantha yang tadi sakit di sekolah. Mulanya aku ingin bertanya tentang kondisi Mantha kepada pembantuku. Tetapi secara cepat melintas pemikiran lain. Aku bertanya kepada Marchya, bukan kepada pembantuku.

"Bagaimana kakak Mantha, Ca ?" tanyaku kepada Marchya.

"Kakak sedang tidur, Ma," jawab Marchya.

"Apa kakak masih demam ?" tanyaku lagi.

Marchya tidak langsung menjawab. Kemudian kudengar ia berteriak kepada pembantuku
"Mbak, mama tanya apa kakak masih demam ?

Kemudian, setelah mendapat jawaban, ia berkata padaku "Kata Mbak, kakak sudah enggak demam lagi, Ma."

"Kamu sudah pegang kening kakak ?" tanyaku.

Ia tidak menjawab, tapi kemudian kudengar ia berteriak lagi.
"Mbak, mama suruh kening kakak dipegang ! Mbak sudah pegang, belum ?"

Kemudian ia menjawab lagi, "Mbak sudah pegang, Ma. Katanya enggak demam lagi kok."

"Marchya, nanti kalau kakak sudah bangun, Marchya yang pegang kening kakak ya. Kalau kakak panas, Marchya harus langsung telepon mama. Marchya harus perhatikan kakaknya, bukan cuma Mbak," kataku dengan suara lembut yang tegas.

"Siap, Ma !" katanya sigap. Aku tersenyum, tapi dia tidak bisa melihat senyumku.

"Terima kasih, Sayang, " kataku mengakhiri pembicaraan kami melalui telepon.

Setelah selesai berbicara dengan Marchya, aku terpikir untuk memerintahkan hal yang sama kepada Thya, si kakak sulung. Kali ini aku melakukannya dengan 'BBM' (Blackberry Messenger)

"Kakak Thya, mama baru menelepon ke rumah. Mantha sudah tidak demam lagi. Nanti tolong kamu (bukan Mbak) periksa keningnya Mantha kalau dia sudah bangun ya. Ukur juga panasnya berapa, setelah itu 'BBM' mama ya."
Itu isi pesan yang aku tuliskan kepada Thya.

Thya menjawab, "Oke Ma !"

Biasanya dulu, kalau anakku ada yang kondisi kesehatannya sedang tidak baik, maka aku akan mengecek kondisi mereka dari kantor melalui pembantuku. Tetapi beberapa bulan belakangan ini, seiring dengan semakin bertumbuhnya anak-anakku menjadi besar, aku dan suami semakin melihat kedekatan emosi di antara mereka. Dan kedekatan ini ingin selalu kami rekatkan dengan menanamkan kepada mereka masing-masing bahwa mereka bertiga adalah harta kami yang paling berharga. Karena itu, mereka harus saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain. Hal ini kusampaikan kepada mereka bertiga dengan kata-kata yang lugas dalam bincang-bincang kami menjelang tidur atau saat santai. Aku menyampaikannya berulang-ulang, dengan harapan mereka akan selalu ingat akan perkataanku itu.

Tetapi tidaklah cukup hanya menyampaikan dengan kata-kata. Dalam beberapa keadaan, sekarang aku lebih sering melibatkan mereka terhadap keperluan adik atau kakaknya. Harapanku, mereka jadi terbiasa untuk saling memperhatikan satu sama lain. Hal ini ternyata tidaklah mudah, karena mereka masih lebih memperhatikan kepentingan diri sendiri. Seperti hari ini, kalau aku tidak menyuruh Marchya untuk memperhatikan kakaknya, maka ia lebih senang bermain boneka atau menontom TV dan melimpahkan kewajiban memperhatikan keadaan kakaknya kepada Mbak saja. Demikian juga dengan Thya, lebih suka bermain internet dan mengerjakan PRnya saja daripada meluangkan waktu sebentar untuk melihat keadaan adiknya. Dengan aku mengingatkan mereka untuk memperhatikan adik / kakaknya, aku berharap mereka akan menjadi terbiasa untuk saling memperhatikan, terutama bila ada yang dalam kondisi tidak baik.


Memiliki anak yang pintar mungkin lebih mudah daripada memiliki anak yang perduli.
Menanamkan kemandirian bukan hal yang mudah, tapi menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan keperdulian terhadap orang lain mungkin lebih sulit. Aku ingin anak-anakku berkembang menjadi anak-anak yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi perduli terhadap saudaranya, temannya, orang lain dan lingkungannya. Aku ingin mereka bertiga nantinya akan saling memperhatikan, mendukung dan membantu untuk maju. Bukan berarti mereka akan saling tergantung satu sama lain. Mereka harus bisa menjadi pribadi yang mandiri, tetapi yang memiliki hati yang perduli.

Tuhan tolong aku untuk konsisten melakukannya.