Suatu hari, dalam perbincangan sederhana yang tak terencana, seorang teman yang masih muda bertanya padaku,
"Mbak, bagaimana rasanya menikah ?"
Sulit bagiku untuk menjelaskannya, karena ia baru saja lulus kuliah dan baru saja menikmati suasana baru dalam dunia kerja, mengaktualisasi diri dalam karyanya. Di lain pihak, pacarnya yang sudah cukup matang dan mapan, sudah mengajaknya untuk menikah. Meski perbincangan itu bukan perbincangan serius, sekedar ngobrol saja, tapi aku kuatir bila nanti jawabanku akan membuatnya salah mengambil keputusan.
"Wah, sulit juga nih menjawabnya...," kataku jujur padanya.
"Tapi aku menikmati dan mensyukuri pernikahanku, hingga sampai saat ini, waktu belasan tahun yang sudah kujalani rasanya sih tidak terasa lama," tambahku lagi pada akhirnya.
Ia tersenyum, dan bertanya lagi, "Mbak langsung punya anak ?".
"Tidak langsung, tapi itu bukan karena aku sengaja menundanya. Enam bulan setelah menikah, baru aku mendapat kabar bahagia bahwa aku sudah positif hamil. Dan lebih bahagia lagi, kabar aku positif hamil kuterima di hari ulang tahunku. Karena itulah Thya itu (anak pertamaku) nama panjangnya adalah Agifthya, a gift from Thee, sebuah hadiah dari Tuhan," ceritaku panjang lebar padanya.
"Punya anak sambil bekerja itu bebannya berat ya Mbak ? Apalagi Mbak kan rumahnya jauh dari kantor, pergi pagi-pagi pulang udah malam, " tanyanya lagi semakin ingin tahu.
"Wah, gimana ya ? Aku nggak pernah merasa terbebani tuh... Emang berat sih. Apalagi harus pergi pagi-pagi sekali dan pulang sudah malam. Tapi aku menganggapnya sebagai tanggung jawab yang mesti dijalani, sehingga semua kesulitan tidak menjadi beban. Sejak anak pertama, sampai sekarang aku punya tiga anak, aku tidak pernah merasa mereka adalah beban. Aku menjalani tanggung jawab itu dengan sepenuh hati. Hasilnya adalah rasa syukur dan sukacita. Sekarang mereka sudah besar-besar, dan rasanya nggak ada alasan untuk tidak bersyukur kepada Tuhan loh....”, kataku cukup panjang lebar.
Apa yang dipikirkannya setelah mendengar jawabanku yang panjang itu ? Mungkin juga ia bosan mendengar ceramahku itu .... entahlah.
Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar polos dari mulutnya, barangkali berangkat dari kegalauan hatinya terhadap pilihan apa yang harus diambilnya. Memilih apakah segera menerima pinangan pacarnya itu dengan konsekuensi ia akan segera kehilangan “kebebasan” atau menundanya dengan konsekuensi mungkin saja pacarnya akan meninggalkannya ? Keduanya bukanlah pilihan yang gampang. Barangkali ada pilihan ketiga yang lebih bisa menghasilkan kesepakatan yang “win – win”, aku tidak tahu persis. Tapi sampai sekarang aku belum menerima kabar, apa yang dijawabnya kepada pacarnya tersebut.
Belajar dari apa yang sudah kujalani dalam hidup ini, dan belajar dari buku-buku pembangkit motivasi yang kubaca, tanggung jawab bukanlah sesuatu yang mesti kita hindari.
Tanggungjawab melatih kita menjadi lebih kuat, lebih berani, dan lebih mampu untuk menghadapi, melakukan, menangani dan menjalani segala sesuatu. Ibarat orang yang sedang melakukan olah raga, maka tanggungjawab membentuk otot-otot menjadi lebih padat, lebih berisi dan lebih lentur. Belajar untuk menerima dan menjalani semua tanggungjawab dengan tangan terbuka dan hati yang penuh syukur, membuat kita semakin matang dan lebih memiliki integritas terhadap hidup.
Dan satu hal yang mesti kita ingat dan sadari adalah, kita tidak pernah bisa menjalani hidup dan semua tanggungjawab hidup yang harus kita pikul tanpa penyertaan DIA. Kita memerlukan Tuhan untuk menemani kita menjalani hari-hari dengan lebih baik dan dan mengarahkan kemudi ke arah yang tepat. Kita memerlukan Tuhan untuk memegang tangan kita untuk menjalani setiap kerikil-kerikil hidup, melindungi dan menopang ketika badai menerpa.
Semua yang sudah aku lakukan selama ini belum seberapa. Kalau kita melihat dari Amsal 31, 10 – 27, maka kita akan menemukan gambaran seorang istri yang cakap dengan begitu banyak tanggungjawab yang harus dipikul. Sungguh luar biasa.
Dengan kekuatanku sendiri aku tahu pasti bahwa aku tak akan sanggup menjadi wanita yang cakap, seperti yang digambarkan di ayat-ayat Amsal tersebut. Bahkan sepertiganya pun mungkin tidak.
Tapi, aku mesti melakukan apa yang harus aku lakukan seturut dengan hakikatku sebagai manusia yang sudah Tuhan berikan begitu banyak berkat. Berani mengambil tanggungjawab sebagai istri, ibu, anak, saudara, teman, sahabat dan sebagainya. Sisanya, yang tak cukup kuat kutanggung sendirian, kumohon Tuhan yang ambil alih.
Kutipan ayat Alkitab : Amsal 31 : 10 – 27
Puji-Pujian untuk Istri yang Cakap
Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya ?
Ia lebih berharga daripada permata.
Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan
Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya
Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya.
Ia serupa kapal-kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya
Ia bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya,
dan membagi-bagi tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan
Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya.
Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya.
Ia tahu bahwa pendapatannya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam
Tangannya ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal.
Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin.
Ia tidak takut kepada salju untuk seisi rumahnya, karena seisi rumahnya berpakaian rangkap
Ia membuat bagi dirinya permadani, lenan halus dan kain ungu pakaiannya.
Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri.
Ia membuat pakaian dari lenan, dan menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang.
Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan.
Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.
Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar