Rabu, 20 Januari 2010

ANAK – DALAM PERSPEKTIF YANG BERBEDA

12 JANUARI 2010

Usai bertemu teman lama yang lama tak bertemu. Aku teringat akan perbincangan tadi, terutama tentang anak.

“Anakmu sekarang berapa ?” tanya temanku itu.

“Tiga, cewek semua. Kamu ?” jawabku dan balas bertanya.

“Wow, 3 dara !” katanya, tetapi ia tak langsung menjawab tanyaku.

Aku tersenyum, ia terdiam sejenak. Kubiarkan ia larut dalam pikirannya sendiri.

Tak lama kudengar lirih suaranya berkata, “Aku menikah sudah di atas 40, jadi beresiko tinggi untuk melahirkan anak. Jadi aku tak memiliki anak.”

“Ups, maaf !” seruku terkejut tak menduga jawabnya. Menyesal aku bertanya demikian. Mestinya aku tak terlalu lugas. Tak habis-habisnya aku menyesali diri. “Kasihan dia,” pikirku. Aku bermain dengan pikiranku sendiri, membayangkan sepinya hidupnya tanpa anak.

“Tak mengapa,” kudengar suaranya memecah kesunyian yang sejenak tercipta.
“Untung suamiku tak terlalu menyukai anak-anak. Buatnya, tak punya anak bukan persoalan. Jadilah kami menikmati hari-hari dengan berduaan selalu.” Senyumnya mengambang saat mengucapkan kalimat terakhir itu.


Aku lega melihat senyum itu, menghapus rasa bersalahku.

“Kamu tentunya repot sekali sambil bekerja dan mengurus anak ya. Tiga pula.” Kali ini giliran ia mengasihaniku.

“Hmmm, repot juga sih, tapi aku senang. Aku menikmati semua kerepotan itu. Sekarang anak-anakku sudah besar, repotnya sudah semakin berkurang. Sekarang, aku mendapat suntikan semangat baru. Semenjak anakku beranjak ABG, aku merasa jadi lebih muda loh! Anak membuatku merasa awet muda,” ujarku sambil tertawa.

“Oya, kok bisa ?” ia mulai tertarik dengan ceritaku.

“Anak pertama dan keduaku sekarang sudah remaja, orang bilang sudah ABG. Banyak hal-hal baru yang mereka bawa pulang ke rumah. Dari mulai lagu, istilah-istilah unik, trend pergaulan seperti facebook dan twitter, dan banyak lagi. Semua hal baru itu menarik buatku, dan aku banyak belajar dari mereka. Ini membuatku merasa lebih muda, menjadi bagian dalam komunitas mereka. Meski tidak selalu bisa aku mengikuti semuanya. Maklum, meski semangat muda tapi umur berpengaruh juga tentunya terhadap daya tangkap… hahahahaha…,” panjang lebar aku bercerita dengan semangat.

“Kalau seandainya harga uang sekolah dan biaya pendidikan tidak semahal sekarang, barangkali aku bisa punya banyak anak seperti jaman ibuku dulu,” aku menambahkan lagi.

“Ha ?” Ia terperanjat.

“Hahaha… iya ! Anak itu api yang selalu mengobarkan jiwaku. Masing-masing anakku memiliki sesuatu yang berbeda di dalam diri mereka yang membuat aku tidak mungkin untuk tidak bersyukur. Betapa luar biasa anugerah Tuhan kepadaku yang kulihat dalam diri anak-anakku. Semakin banyak anak, mungkin aku akan semakin bersyukur …. hahahaha,” kataku menjelaskan.

“Iya ya, kamu memang keibuan,” katanya.

“Hmmm, entahlah. Aku tidak tahu persis apa aku keibuan atau tidak, tapi aku menikmati peranku menjadi ibu.”

Pembicaraan hari itu membawa pikirku pada suatu kenyataan bahwa seringkali kita menilai orang lain menurut cara pandang dan pendapat kita.

Aku kasihan padanya karena ia tidak memiliki anak, padahal ia dan suaminya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu dan menikmati hidup berdua saja tanpa anak. Toh ada keponakan-keponakan yang juga meramaikan, begitu menurutnya.

Sementara dari sisi yang berbeda ia pun mengasihani aku dengan kerepotanku menjadi ibu bekerja. Padahal aku sangat bersyukur atas anugerah anak yang Tuhan berikan dan tak dapat membayangkan diriku tanpa anak-anakku.

Aku pun terbayang betapa aku menikmati kebersamaanku dengan ketiga gadis kecilku. Kami sering jalan-jalan, belanja dan nonton bersama. Kalau ada film anak dan remaja yang bagus yang diputar di bioskop, kami pasti berusaha untuk menontonnya. Tidak mesti selalu hari Sabtu atau Minggu. Seringkali bila aku bisa pulang kerja lebih awal, kami janjian bertemu di bioskop. Mereka dari rumah, aku dari kantor. Tiketnya lebih murah dibanding hari Sabtu dan Minggu.

Menyenangkan sekali.

Ya, aku bersyukur memiliki mereka.
Tapi kedekatan itu mesti diciptakan dan dipelihara, dan tidak dapat terjadi begitu saja.
Kita menuai apa yang kita tabur. Kita menabur cinta kasih yang tulus, mereka akan tumbuh dalam cinta kasih dan akan belajar mengasihi dengan tulus, maka yang kita tuai pun kemudian adalah cinta kasih yang tulus.

Seperti tumbuhan, anak pun perlu dipupuk, disiangi dan disirami dan diberi cahaya kasih.

Namun, meski pun kami sangat dekat seperti berteman, aku ini adalah mama mereka. Kami bisa berteman bahkan bersahabat, tetapi aku bukanlah teman dan sahabat mereka. Aku adalah mama mereka !.


Sebagai mama, aku mesti memupuk iman mereka, menanamkan budi pekerti dan hal-hal baik ke dalam jiwa mereka. Terkadang, aku 'menyiangi' mereka untuk membuang sifat-sifat buruk agar dapat berkembang pada arah yang benar.

Bila perlu marah, aku pun harus marah. Toh kata Aristoteles marah itu perlu, asal pada saat yang tepat, terhadap orang yang tepat dan dengan porsi yang tepat pula. Tak mesti aku mengikuti mau mereka hanya demi tetap dipandang sebagai teman yang menyenangkan buat mereka.

Hal-hal ini mungkin yang membuat mereka tetap menyebutku mama paling cerewet seluruh dunia. Mama yang membuat kuping mereka sakit kalau disuruh ini itu, dari mulai bangun pagi, mandi, belajar, dan lain-lainnya. Tetapi aku juga adalah mama yang selalu dirindukan setiap hari. Setiap aku pulang kantor, mereka pasti berlomba memeluk. Setiap tidur malam, mereka harus aku peluk dan cium satu persatu, dan daling berlomba memelukku erat supaya tidak lepas-lepas.

Hmmm, sukacitaku menjadi ibu…
Sungguh menyenangkan menjadi mama paling cerewet sedunia yang selalu dirindukan dan dikasihi oleh anak-anakku .....hahahaha…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar