Aku dan suami menikah pada usia yang cukup matang, dan kami memiliki pendapatan tetap karena kami berdua sama-sama bekerja. Karena itu, ketika setelah enam bulan menikah aku mengetahui sudah hamil, maka kami menyambut berita itu dengan sukacita dan sudah merasa siap untuk menerima kehadiran anggota baru dalam keluarga kecil kami.
Ternyata, perasaan siap pada awalnya belum tentu sesuai dengan kenyataan yang kuhadapi kemudian
Empat bulan pertama aku harus merasakan mual dan muntah, sulit makan, sensitif terhadap bau-bauan sampai-sampai parfum suamiku mesti diganti karena aku tidak menyukai baunya. Meski demikian aku dapat menerima segala kesulitan itu karena mengerti itu adalah bagian dari konsekuensi kehamilan yang kunantikan.
Ketika memasuki usia kehamilan delapan bulan, kepala bayiku yang sudah mulai memasuki rongga panggul, menekan syaraf di sekitar panggulku, sehingga aku merasa kesakitan setiap kali menjejakkan kaki ke lantai. Namun, aku tetap bersukacita dan sangat menanti-nantikan saat bahagia aku menimang bayiku.
Namun perasan rela mengalami sakit dan ketidaknyamanan itu mulai berubah, justru ketika bayi yang kuidam-idamkan sudah ada di dalam dekapanku. Terlalu banyak rasa sakit dan ketidaknyamanan yang kurasakan sambung menyambung.
Dimulai ketika aku merasakan sakitnya kontraksi. Aku sudah mengalaminya berhari-hari, semakin lama semakin sakit. Saat-saat suster memintaku mengejan untuk membantu mengeluarkan bayi melalui tempat keluarnya yang begitu kecil, sakitnya luar biasa. Untungnya kemudian rasa sakit itu kemudian terbayar, berganti dengan rasa syukur dan air mata sukacita saat bayi licin dan berlumuran darah itu diletakkan ke dalam dekapan tanganku.
Namun rasa sakit ternyata tak berhenti sampai di situ. Saat menyusui pertama kali, putingku terasa sakit ketika mulut kecil bayi mungilku belajar mengisap sari kehidupan dari dadaku. Sakit sekali, bahkan puting buah dadaku sampai terluka, memperparah rasa sakit yang kualami. Belum lagi kemudian sakit yang kurasakan setiap kali menyusui. Aliran ASI yang keluar selalu disertai dengan sakit seakan rahimku diremas-remas. Meski rasa sakit itu bagian dari proses pengecilan kembali rahimku yang selama berbulan-bulan dihuni bayiku, tetapi rasa sakitnya menyiksa sekali. Ditambah lagi sakit buah dadaku yang mengeras karena di minggu pertama, bayiku belum terlalu banyak menyusui padahal air susuku sudah mulai banyak berproduksi.
Kondisi tubuhku belum pulih benar karena kehilangan banyak darah, padahal aku tidak dapat tidur nyenyak akibat rasa sakit itu. Pada hari pertama setelah melahirkan, aku bahkan hampir pingsan karena teman-teman dan kerabat suamiku dan mertuaku cukup banyak yang membesuk, sehingga aku tidak dapat tidur untuk mengembalikan kondisiku. Kesakitan dan kelelahan bercampur satu, sempat membuatku berpikir, ternyata melahirkan tidak enak sekali. Sampai-sampai aku pernah berkata dalam hati dan pikiranku bahwa cukup sekali ini saja aku melahirkan. Untunglah tidak pernah kuucapkan dari mulutku.
Setelah memasuki 2 minggu setelah melahirkan, aku sudah dapat melewati masa-masa sulit yang penuh dengan rasa sakit itu. Malah sebaliknya, aku merasakan kenikmatan luar biasa memiliki anak yang dapat kupeluk dan kucium. Harum dan lembut aroma khas bayi yang selalu membuatku rindu pulang dan tak ingin lama-lama meninggalkannya. Ternyata punya anak itu nikmat sekali. Karena itulah kemdian, aku tidak keberatan untuk memiliki tiga anak.
Entah memang karena sudah pernah mengalami jadi merasa terbiasa, atau memang karena sudah tidak sesakit waktu melahirkan pertama kali, saat aku melahirkan anak kedua dan ketiga tidaklah sesakit dan sesulit yang pertama. Padahal, beberapa minggu setelah aku melahirkan Mantha anak keduaku, Thya anak pertamaku harus dua kali diopname di rumah sakit karena panas tinggi yang beberapa hari tidak turun-turun akibat radang tenggorokan.
Karena baru berumur 3 tahun, Thya tidak ingin aku meninggalkannya saat ia dirawat di rumah sakit. Di sisi lain, aku juga masih harus menyusi adiknya yang baru berumur beberapa minggu. Karena itu, aku mesti memeras air susuku dan dibawa pulang ke rumah untuk Mantha. Setelah Thya tidur di malam hari, aku mesti menyelinap pergi meninggalkannya ditemani suamiku saja, untuk pulang ke rumah menyusui Mantha setidak-tidaknya dua kali malam itu.
Karena aku melakukannya dengan dasar kasih pada anak-anakku, maka aku tidak merasakan lelah dan sakit dan melakukannya dengan sukacita. Meski semangatku tidak merasakan lelah, ternyata badanku berkata lain. Setelah Thya sembuh dan dapat keluar dari rumah sakit, dan kondisinya pun berangsur pulih, aku mengalami demam tinggi akibat terserang virus cacar air sebelah. Kata dokter, kondisi tubuh yang lemah membuat virus cacar air yang dulu pernah kuderita ketika masih kecil, kembali muncul dalam bentuk yang tidak sama, yaitu cacar air sebelah.
Sejak aku memiliki anak ampai sekarang, tak pernah berhenti aku bersyukur kepadaNYA karena diberi kemudahan untuk memiliki anak tidak terlalu lama sejak pernikahanku. Aku bersyukur karena anak yang kumiliki sekarang tidak hanya satu, tetapi tiga. Aku bersyukur atas kepercayaan yang diberikanNYA kepadaku, menikmati peran dan tanggungjawab sebagai Ibu. Lengkaplah hidupku sebagai wanita.
Terpujilah Tuhan yang penuh kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar