Kamis, 11 Februari 2010

Menanamkan Keperdulian

Hari ini, Kamis 11 Februari.

Tadi malam Mantha demam.
Paginya, ia tetap berkeras untuk pergi sekolah karena ada penilaian drama. Karena penilaian ini berkelompok, ia takut kalau tidak masuk sekolah maka nilainya tidak ada. Akhirnya kubiarkan ia pergi sekolah, asal ia memperhatikan kondisi kesehatannya. Ia harus pulang setelah penilaian drama selesai. Aku pun menuliskan pesan kepada guru wali kelasnya di buku agendanya, memohon untuk lebih memperhatikan Mantha dan mengijinkan Mantha untuk pulang lebih awal bila kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pelajaran hari ini.

Siang sekitar pukul 11, Mantha menelepon. Katanya ia merasa demam lagi dan sudah minta ijin guru untuk pulang lebih cepat.

Sorenya, dari kantor aku menelepon ke rumah mengecek keadaan Mantha. Adik Marchya yang menerima teleponku. Setelah menanyakan keberadaan kakak Thya dan berbincang-bincang tentang sekolahnya, aku menanyakan keadaan Mantha yang tadi sakit di sekolah. Mulanya aku ingin bertanya tentang kondisi Mantha kepada pembantuku. Tetapi secara cepat melintas pemikiran lain. Aku bertanya kepada Marchya, bukan kepada pembantuku.

"Bagaimana kakak Mantha, Ca ?" tanyaku kepada Marchya.

"Kakak sedang tidur, Ma," jawab Marchya.

"Apa kakak masih demam ?" tanyaku lagi.

Marchya tidak langsung menjawab. Kemudian kudengar ia berteriak kepada pembantuku
"Mbak, mama tanya apa kakak masih demam ?

Kemudian, setelah mendapat jawaban, ia berkata padaku "Kata Mbak, kakak sudah enggak demam lagi, Ma."

"Kamu sudah pegang kening kakak ?" tanyaku.

Ia tidak menjawab, tapi kemudian kudengar ia berteriak lagi.
"Mbak, mama suruh kening kakak dipegang ! Mbak sudah pegang, belum ?"

Kemudian ia menjawab lagi, "Mbak sudah pegang, Ma. Katanya enggak demam lagi kok."

"Marchya, nanti kalau kakak sudah bangun, Marchya yang pegang kening kakak ya. Kalau kakak panas, Marchya harus langsung telepon mama. Marchya harus perhatikan kakaknya, bukan cuma Mbak," kataku dengan suara lembut yang tegas.

"Siap, Ma !" katanya sigap. Aku tersenyum, tapi dia tidak bisa melihat senyumku.

"Terima kasih, Sayang, " kataku mengakhiri pembicaraan kami melalui telepon.

Setelah selesai berbicara dengan Marchya, aku terpikir untuk memerintahkan hal yang sama kepada Thya, si kakak sulung. Kali ini aku melakukannya dengan 'BBM' (Blackberry Messenger)

"Kakak Thya, mama baru menelepon ke rumah. Mantha sudah tidak demam lagi. Nanti tolong kamu (bukan Mbak) periksa keningnya Mantha kalau dia sudah bangun ya. Ukur juga panasnya berapa, setelah itu 'BBM' mama ya."
Itu isi pesan yang aku tuliskan kepada Thya.

Thya menjawab, "Oke Ma !"

Biasanya dulu, kalau anakku ada yang kondisi kesehatannya sedang tidak baik, maka aku akan mengecek kondisi mereka dari kantor melalui pembantuku. Tetapi beberapa bulan belakangan ini, seiring dengan semakin bertumbuhnya anak-anakku menjadi besar, aku dan suami semakin melihat kedekatan emosi di antara mereka. Dan kedekatan ini ingin selalu kami rekatkan dengan menanamkan kepada mereka masing-masing bahwa mereka bertiga adalah harta kami yang paling berharga. Karena itu, mereka harus saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain. Hal ini kusampaikan kepada mereka bertiga dengan kata-kata yang lugas dalam bincang-bincang kami menjelang tidur atau saat santai. Aku menyampaikannya berulang-ulang, dengan harapan mereka akan selalu ingat akan perkataanku itu.

Tetapi tidaklah cukup hanya menyampaikan dengan kata-kata. Dalam beberapa keadaan, sekarang aku lebih sering melibatkan mereka terhadap keperluan adik atau kakaknya. Harapanku, mereka jadi terbiasa untuk saling memperhatikan satu sama lain. Hal ini ternyata tidaklah mudah, karena mereka masih lebih memperhatikan kepentingan diri sendiri. Seperti hari ini, kalau aku tidak menyuruh Marchya untuk memperhatikan kakaknya, maka ia lebih senang bermain boneka atau menontom TV dan melimpahkan kewajiban memperhatikan keadaan kakaknya kepada Mbak saja. Demikian juga dengan Thya, lebih suka bermain internet dan mengerjakan PRnya saja daripada meluangkan waktu sebentar untuk melihat keadaan adiknya. Dengan aku mengingatkan mereka untuk memperhatikan adik / kakaknya, aku berharap mereka akan menjadi terbiasa untuk saling memperhatikan, terutama bila ada yang dalam kondisi tidak baik.


Memiliki anak yang pintar mungkin lebih mudah daripada memiliki anak yang perduli.
Menanamkan kemandirian bukan hal yang mudah, tapi menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan keperdulian terhadap orang lain mungkin lebih sulit. Aku ingin anak-anakku berkembang menjadi anak-anak yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi perduli terhadap saudaranya, temannya, orang lain dan lingkungannya. Aku ingin mereka bertiga nantinya akan saling memperhatikan, mendukung dan membantu untuk maju. Bukan berarti mereka akan saling tergantung satu sama lain. Mereka harus bisa menjadi pribadi yang mandiri, tetapi yang memiliki hati yang perduli.

Tuhan tolong aku untuk konsisten melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar