Minggu, 30 Mei 2010

Dilema Marchya

Hari ini, 30 Mei 2010. Seperti biasanya kami berdoa malam sebelum tidur. Karena kakak-kakak tidur di atas, aku dan Marchya berdoa berdua saja malam ini. Marchya yang dapat giliran memimpin doa.

Ia berdoa tentang banyak hal. Berterima kasih atas berkat Tuhan sepanjang hari ini, minta berkat kesehatan dan perlindungan Tuhan. Juga mohon berkat untuk saudara-saudara Marchya di mana pun mereka berada, dan... yang mengharukanku adalah doanya yang terakhir sebelum ia mengakhiri doa malamnya. Marchya berterima kasih karena Tuhan membuatnya tambah besar, dan sebentar lagi ia sudah akan masuk SD. Tapi ia juga takut kehilangan teman-temannya, sahabat-sahabatnya di TK.

Hmmm, aku geli mendengar doanya itu, sekaligus juga terharu. Hampir aku menitikkan air mata.

Selesai berdoa, ia berkata, "Aku hampir nangis tadi, Ma."

"Kenapa, Dek ?" tanyaku.

"Aku senang sih, aku tambah besar. Tapi aku bakalan pisah sama teman-temanku," katanya dengan suara bergetar.

Aku memeluknya untuk menenangkannya. Karena lampu sudah kumatikan, bersiap untu tidur, tidak kulihat air matanya mengalir ketika ia bercerita. Tetapi ketika aku mencium keningnya, kurasakan rambutnya basah. Air mata ternyata sudah mengalir.

"Marchya menangis ?" tanyaku tersentak.

"Mama kok tahu ?" Bukannya menjawab, malah ia balik bertanya.

"Rambutmu basah. Ini matamu juga basah, kan ?" kataku padanya sambil mengusap air mata yang masih mengalir.

"Kenapa ya orangtua Grace harus pindah ke Singapore ? Kan aku bakalan gak sama-sama Grace lagi di SD. Grace kan sahabat terbaikku, Ma." Ia protes, tapi bisanya cuma menangis saja.

"Sayang, mungkin ada teman-temanmu SDnya sama dengan Marchya, tapi ada juga yang berbeda. Salah satunya, Grace sahabatmu. kan pindah ke Singapore, tapi Marchya gak boleh sedih. Marchya akan punya banyak teman lain kok nantinya. Dan kalau mau, Marchya bisa tetap berhubungan dengan Grace." Demikian aku mencoba menghibur hatinya.

"Tapi aku bakalan ketemu teman-teman lain juga kan Ma ? Juga kalau kita mati, nanti kita akan ketemu teman-teman dan orang yang kita sayangi kan Ma ?" Ia bertanya lagi. Pertanyaannya ini sulit kujawab.

"Iya sayang, suatu hari nanti kita bakalan bertemu dengan teman-teman kita yang sudah berpisah dwngan kita." Hanya ini yang bisa kujawab, menanggapi pertanyaannya. Aku belum siap bicara tentang kematian. Aku hanya memeluk dan mengusap-usap pumggungnya sampai tertidur. Tak sanggup aku menjawab pertanyaa serius seperti itu apalagi laninnya, biar Tuhan yang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar