Aku dan tiga anak gadisku suka menyanyikan lagu-lagu rohani sebelum tidur. Diantara lagu-lagu rohani yang biasa kami nyanyikan, Marchya si bungsu sangat suka sekali dengan lagu “Di Doa Ibu Namaku Disebut” yang dinyanyikan oleh Nikita waktu masih kecil. Dengan Ipod di telinganya, ia bisa menyanyikan dengan nadanya sendiri, yang hmm… naik turun sesukanya.
Pada suatu malam, saat aku memandang wajah anak-anakku yang tertidur pulas setelah menyanyikan beberapa lagu rohani, dan salah satunya adalah lagu “Di Doa Ibu Namaku Disebut”, membawaku dalam perenungan panjang. Teringat masa kecilku, teringat pada Ibuku yang rajin berdoa. Aku juga berpikir tentang masa depan anak-anakku dengan segala kesulitan dan tantangan yang akan aku dan anakku hadapi. Sejak malam itu, setiap kata dan kalimat dalam setiap bait bisa membuatku menangis. Inilah perenunganku
Bait pertama mengingatkanku akan masa kecilku. Sering sekali aku melihat mamaku duduk di tepi tempat tidurnya, berdoa lama sekali. Entah apa saja yang didoakannya, kala itu aku tak terlalu perduli. Tampaknya ia begitu menikmati saat-saat itu, saat ia menyampaikan isi hatinya dengan berdoa kepada Penciptanya.
Dulu, ketika masih kecil, kami (abangku, aku dan adik-adikku), tak terlalu ambil pusing berapa lama pun mamaku berdoa, kami biarkan saja. Tetapi, kami baru bereaksi ketika kami berdoa bersama-sama dengan mama.
Doa bersama biasanya kami lakukan ketika makan, atau pada waktu-waktu khusus. Paling sering memimpin doa adalah mama atau bapak. Karena mama berdoanya panjang, kami sering berusaha agar jangan mama yang memimpin doa.
Di dalam doanya, selalu ada banyak nama dan kondisi yang disebut. Terkadang saat doa makan pun mama tidak bisa singkat berdoa. Bayangkan, di saat perut sudah lapar, di saat makanan begitu menggoda, mama masih teringat mendoakan selain makanan yang akan kami santap. Apalagi biasanya mama berdoa dalam bahasa Batak, yang tidak terlalu kami mengerti seluruhnya. Maka, bisa dibayangkan betapa membosankannya saat berdoa itu. Terkadang, ketika tidak ada salah satu dari kami yang bersedia ditunjuk untuk berdoa, maka mama dengan sukarela akan mengajak berdoa. Dengan spontan, kami berkata, “Bapak aja !” Bisa saja sebenarnya mama tersinggung, tapi ia hanya tersenyum dan membiarkan Bapak yang ambil alih. Atau kami bilang, “Doanya jangan panjang-panjang lah Mak (mamak, begitu kami memanggilnya).”
Saat aku masih tinggal bersama orangtuaku, seringkali aku melihat mamaku berdoa. Doa yang paling lama adalah doa malam menjelang tidur. Entah apa saja yang didoakannya.
Pernah satu ketika aku mencoba ikut berdoa bersamanya menjelang tidur di malam hari, ingin tahu apa saja sebenarnya yang didoakannya. Sampai terkantuk-kantuk aku mendengar ibu berdoa. Yang aku ingat, ia menyebutkan banyak nama dan banyak permasalahan. Dan nama kami enam bersaudara, satu persatu disebutkannya di dalam doanya. Mestinya biar cepat kan lebih baik kalau disebut sekalian saja, “Aku berdoa untuk anak-anakku…..” Kan itu bisa menghemat waktu dan tidak membosankan, dibanding kalau satu persatu nama disebutkan. Itu pikiran praktisku saat itu..
Setelah aku menikah dan memiliki keluarga sendiri, ia pun masih tetap berdoa menyebut namaku, nama kami satu persatu. Mungkin sekarang makn lama, karena sudah ada menantu-menantu dan cucu-cucunya.
Setelah sudah memiliki anak, aku semakin menyadari bahwa segala sesuatu yang kuperoleh saat ini tidak lepas dari doa mamaku.
Hal ini terutama kusadari ketika aku berhadapan pada kenyataan bahwa banyak sekali tantangan yang kuhadapi sebagai orangtua agar anak-anakku bertumbuh dalam arah yang benar. Aku tidak cukup hanya menyediakan makan, pakaian dan kebutuhan fisik mereka lainnya, tapi mesti juga harus mencukupi batin dan jiwa mereka. Apalagi saat ini, banyak pengaruh luar yang dapat saja menyeret mereka ke arah yang salah. Narkoba yang sekarang sudah diedarkan di TK dan SD, globalisasi informasi yang dapat dengan mudah diperoleh pun jika tidak cermat dapat memberi pengaruh negatif.
Kekuatiran demi kekuatiran memenuhi pikiranku. Apalagi aku bekerja, tidak dapat selalu mendampingi mereka. Akhirnya aku menyerah, dan bilang pada Tuhan, “Tuhan, aku tidak dapat selalu ada di samping anak-anakku, tapi aku percaya Engkau tidak akan meninggalkan mereka. Kuserahkan mereka ke dalam tanganMU, bentuklah mereka seturut kehendakMu.”
Seperti pada bait kedua, aku pun sekarang sering teringat akan saat-saat ibuku berdoa. Persepsiku sudah berbeda. Dulu ketika aku masih kecil, aku sering menghindar berdoa bersama mama, tetapi sekarang aku bersyukur karena selalu ada namaku disebut dalam doa mamaku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar