Senin, 12 September 2011

Takut Gagal (2)

11 September 2011

Hari ini Sam akan menghadapi ujian piano grade 5. Persiapan sudah lumayan baik, meski sebenarnya latihan baru dikebut dalam kurang lebih 1 bulan ini. Beberapa kali latihan di tempat les, kak Yo guru lesnya Sam bilang sudah cukup baik di 2 lagu, tetapi 2 lagu lagi mesti dilatih lagi.

Pagi ini, sepulang gereja, segera kami bersiap untuk berangkat. Sebelumnya, saat makan siang, kakak Thya yang memimpin doa makan, menyelipkan doa untuk kelancaran ujian piano Sam. Sengaja kami berangkat lebih awal supaya tidak terburu-buru dan masih ada waktu untuk Sam latihan lagi.

Untuk mengurangi grogi dan juga melatih lagu-lagu yang belum terlalu lancar, Sam berlatih di ruang kelas yang kosong. Tampaknya dia cukup puas dengan latihannya, meski masih ada rasa grogi.

Akhirnya Sam dipanggil masuk ke ruang ujian. Aku dan papanya menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Kurang lebih 15 menit kemudian, dia keluar dengan mata berair sambil berkata, "Kacau.. kacau." Aku dan papanya tidak bisa bilang apa-apa, kecuali memeluknya sambil membawanya keluar menuju ruang parkir.

Aku mencoba bertanya, tapi tampaknya Sam belum siiap untuk menjawab. Malah tangisnya menjadi sesunggukan. Suamiku memberi tanda untuk membiarkan dulu ia menangis. Kami tidak langsung pulang, kami mampir dulu di Starbuck Citos, sekedar nongkrong dan ngobrol-ngobrol.

Sambil menikmati minuman, waffle caramel dan kue keju, kami mulai membagi banyak kutipan-kutipan kata-kata tentang kegagan. Karena Sam suka mengumpulkan kutipan-kutipan kata-kata bijak, maka ia mencatat yang diberikan papanya dan aku.

Suasana mulai mencair, tampaknya ia mulai bisa untuk diajak bicara. Suamiku memulainya dengan memintanya mengulang kejadiannya sejak saat ia memasuki ruang ujian. Sam mulai bercerita, matanya mulai berkaca-kaca lagi. Kami berdua mendengar dengan baik. Sesekali kami bertanya untuk mempertegas alur ceritanya. Ia menagis lagi.

Selesai bercerita, kami mulai membicarakan isi kutipan-kutipan tadi, juga hal-hal tentang kegagalan dan tekad untuk terus mencoba

Suamiku dan aku menyampaikan dengan bahasa masing-masing bahwa setiap orang dalam hidupnya akan menemukan kegagalan. Tetapi kalau tenggelam terlalu dalam pada perasan kecewa karena gagal, maka akan takut mencoba atau bahkan mengulang.
Menangis karena sedih itu wajar, itu merupakan rasa tanggung jawab juga. Merasa bersalah karena tidak bisa memberi hasil yang baik. Tapi mesti diimbangi dengan belajar dari kesalahan itu untuk kemudian suatu saat bisa berhasil dengan memuaskan.

Suamiku berkata kepadanya, "Sebenarnya menurut papa, lebih baik kak Sam tidak lulus, tetapi mempunyai kesempatan untuk mengulangi lagi untuk memantapkan keahlianmu, daripada saat ini kamu lulus tapi tidak terlalu menguasai. Dan lebih lagi, bila kak Sam sekedar puas dengan lulus dan tidak memantapkan kemampuanmu. Setelah ini kita coba lagi di rumah untuk mengulang berlatih, belajar dari kesalahan-kesalahan yang tadi disebutkan oleh penguji."

Sam mengangguk. Kemudian ia berkata, " Kalau waktu ujian JXC di Gatot Subroto (beberapa tahun lalu) itu, aku bisa menerima bahwa hasilnya pas-pasan, hampir gagal. Itu karena aku tidak terlalu serius berlatih. Tapi ujian kali ini aku sudah berlatih lebih baik. Jadi kalau tidak lulus sedih banget rasanya." Begitu katanya sambil mulai terisak lagi.

"Kamu tahu kan salahmu di mana ?" tanya papanya.

"Iya, tadi disebutkan, jadi aku tau, " kata Sam.

"Itu artinya bahwa persiapanmu masih kurang," papanya berkata lagi.

Aku menambahkan, "Cobalah mulai dari saat ini ke depan untuk mempersiapkan diri tidak hanya pas dekat-dekat waktu ujian, tapi rutin tiap hari. Apakah itu 15 menit, 30 menit atau 1 jam. Beri waktu rutin setiap hari untuk berlatih."

"Iya sih," suaranya merendah, sepertinya ia menyadari kesalahannya.

Kupegang tangannya, sambil kuusap-usap kepalanya yang disandarkannya di meja Starbuck (meja kami ada di dekat tiang, sehingga agak teralihkan dari perhatian orang). Aku mengajak ia berbicara dari hati ke hati. Inilah sebagian dari apa yang kusampaikan kepadanya.
"Mama tidak ingin kamu gagal. Tapi kegagalan-kegagalan yang kamu dapat saat ini dapat kita anggap sebagai persiapan kamu untuk menghadapi kegagalan yang lebih besar dalam perjalanan hidupmu nanti. Saat ini mama dan papa ada di sampingmu, menemanimu melewati kegagalanmu. Tapi nanti, ketika kamu sudah berpisah dari mama, entah kuliah di luar kota atau luar negeri, sudah bekerja dan lainnya, mama harap kamu sudah lebih kuat menghadapinya sendiri tanpa mama dan papa. Tentu saja kamu bisa cerita meski jauh. Tapi tidak sama dengan yang sekarang kamu hadapi. Tapi jangan pernah kuatir, karena Tuhan pasti menyertaimu."

Ia tidak lagi menangis terisak, tapi air matanya mengalir mendengar ucapanku.

Sore itu, setelah puas berbicara dari hati ke hati, kami pun melanjutkan aktifitas lain yang tidak lagi berhubungan dengan masalah ujian dan kekecewaan hatinya. Aku berharap ia dapat mengobati hatinya dan mau memperbaiki diri di masa-masa datang.

Anakku sayang, Sam.
Hidup ini tidak sekedar kalah atau menang, sukses atau gagal.
Yang lebih penting dalam setiap perjalanan hidupmu, adakah hikmah yang kamu bisa petik dari setiap usahamu ?
Ketika usahamu membuahkan hasil, jangan memegahkan diri dan berkata itu semua hasil jerih payahmu saja. Karena banyak andil orang lain di balik keberhasilanmu, bisa temanmu, gurumu, saudaramu atau orang lain. Lebih dari itu yang utama adalah karena Tuhan berkenan memberi keberhasilan itu untukmu.
Ketika usahamu yang sudah berjerih lelah masih belum membuahkan hasil yang engkau harapkan, jangan berputus asa.
Terus berusaha, mencoba, memperbaiki diri, lebih giat dan lebih tekun.
Tuhan pasti tidak tinggal diam membiarkanmu patah semangat setelah usaha yang berkali-kali.

Anakku sayang, kiranya setiap kegagalanmu, menambahkan kedewasaan dalam diri dan kematangan bagi jiwamu
Tuhan memberkatimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar